Leluhur bangsa Tionghoa percaya bahwa “Tao” menghasilkan segalanya dan memberikan segalanya dengan pahala (De). Mereka menghargai Tao, menjunjung moral dan memerintah negara dengan memperhatikan aspek tersebut.
Dalam sejarah bangsa Tionghoa, ada beberapa partai pemerintahan terkenal, termasuk pemerintahan Wen dan Jing. Wen dan Jing adalah ayah dan anak, yang keduanya menjadi kaisar dalam Dinasti Han. Masa pemerintahan mereka menjunjung tinggi moral. Pemerintahannya menciptakan masa damai dan teratur. Masyarakat sangat sejahtera dan hidup bahagia.
Pada awal Dinasti Xihan, melewati tahun-tahun penuh huru-hara dan perang pada akhir dinasi Qin, ekonomi mengalami kemunduran dan kelaparan terjadi dimana-mana karena petani tidak dapat bercocok tanam akibat harus berada di pengungsian. Kaisar Wen naik menjabat, dan dia langsung membuat maklumat kerajaan untuk mengembangkan pertanian serta menghapuskan pajak dari petani. Kaisar Jing juga mengikuti jejak langkah ayahnya. Ia membuat maklumat kerajaan berbunyi: “Pertanian adalah dasar terpenting dari semuanya. Meskipun kita mempunyai emas, perak, perhiasan giok dan permata, kita tak dapat memakannya saat kita lapar atau kedinginan. Hasil bumi juga tak dapat dibandingkan dengan kain sutera dan linen.” Kaisar Jing juga mendirikan sekolah-sekolah besar yang mendidik anak-anak tentang etiket, moral dan perilaku. Penduduknya berpikir sederhana, jujur dan baik hati.
Kaisar Wen pernah sekali berkata, “Penduduk dapat hidup damai tanpa invansi luar dan pajak tinggi dari pemerintah di dalam negeri. Dengan begitu mereka dapat bercocok tanam dan hidup sejahtera.”
Kaisar Wen rendah hati dan ketat pada dirinya sendiri dalam menjaga sikap dan perbuatannya, bagaikan orang suci di zaman lampau. Dia juga terbuka menerima kritik untuk perbaikan ke depan. Dia belajar dari kesalahannya. Saat negerinya dilanda penurunan hasil panen atau bencana, dia akan mengintrospeksi dirinya sendiri terlebih dahulu, baru meminta pejabat dan penduduknya juga ikut menunjukkan masalah apa yang terjadi di masyarakat. Contohnya, dalam satu maklumat kerajaannya tertulis, “Dalam beberapa tahun, panen sangat sedikit, juga muncul bencana seperti banjir dan wabah penyakit. Saya sangat prihatin, apakah ada kesalahan dalam hal kebijakan yang dijalankan dalam masa pemerintahan saya? Apakah ada yang mengakibatkan ketidakharmonisan diantara masyarakat, yang dapat mengganggu hubungan antara Tuhan dan manusia, langit dan bumi? Apakah pejabat-pejabat saya melakukan hal yang merugikan rakyat? Atau pendapatan mereka berlebihan? Mengapa terjadi penurunan panen? Siapapun yang terpikir penyebabnya, tolong sharingkan kepada saya.”
Melihat kisah ini, kita bisa mengetahui bahwa kaisar-kaisar di Tiongkok kuno sangat percaya kepada Sang Pencipta, menjaga hubungan yang harmonis antara langit dan bumi, Tuhan dan manusia. Bencana bukan dianggap kebetulan atau ujian, melainkan peringatan dari Tuhan kepada manusia, untuk segera menemukan dan memperbaiki kesalahan. Pemimpin yang bijaksana, baik hati selalu menekankan keadilan. Masyarakat dengan sendirinya menjadi patuh pada hukum dan hidup dengan damai. (Erabaru/ch)
Dalam kebudayaan Tionghoa, ada banyak sekali pepatah Tiongkok yang sangat kaya makna. Satu kalimat dalam pepatah yang sederhana itu ternyata dapat membawa pikiran seseorang untuk menemukan kebenaran.
Salah satunya adalah : “Mencuri seekor ayam setiap bulan” adalah pepatah dari Mencius (722-481 SM.)
Dai Ying, pejabat pemerintah dari Daerah Song memutuskan untuk mengurangi pungutan. Dia bertanya kepada Mencius, “Saya ingin menghapuskan pungutan. Tapi kita tidak memiliki penghasilan yang cukup. Bagaimana, apakah kita sebaiknya memotong pungutannya sedikit saja dulu, dan tunggu tahun depan sebelum menerapkan penghapusan pungutan?” Mencius berkata, “Ada seorang yang setiap hari mencuri seekor ayam dari tetangganya tiap hari. Dia sudah diberitahu, “Ini bukan kelakuan seorang lelaki bermoral.” Kemudian lelaki itu berkata:“Oke, saya akan mengurangi jumlah ayam yang saya curi. Saya akan mencuri seekor ayam tiap bulan dan tahun depan saya tidak akan mencuri lagi.” Dia padahal sudah mengerti bahwa yang dilakukannya itu salah, tapi dia masih belum bisa stop. Kenapa harus tunggu tahun depan?
Pepatah “Mencuri seekor ayam setiap bulan” ini merujuk pada perbuatan seseorang yang sebenarnya sudah menyadari bahwa yang dilakukannya salah, tapi orang tersebut tidak segera memperbaiki diri. Kelihatannya sulit saat ini, tapi saat kita memikirkan kembali makna dibalik pepatah sederhana itu, mungkin pemikiran kita yang kompleks itu bisa menjadi lebih sederhana, dan kita dapat menemukan satu jalan untuk merubah kebiasaan buruk secara total.
Mencius sangat baik dalam menggunakan analogi untuk mengilustrasikan maksudnya. Dia berkata bahwa memerintah negara adalah suatu hal yang sederhana, adalah hanya masalah apakah sang pemimpin mau berusaha atau tidak. Adipati Xuan dari daerah Qi pernah bertanya kepadanya, “Dapatkah kamu menjelaskan perbedaan antara “usaha yang kurang” dan “ketidakmampuan”? Mencius berkata, “Jika seseorang memintamu untuk membawa Gunung Tai dengan tangan dan meloncati Laut Utara, dan kamu berkata, “Saya tidak mampu”, itu adalah betul-betul kamu tak mampu. Tapi apabila seseorang memintamu untuk mematahkan ranting pohon dan kamu berkata, “Saya tak mampu”, itu adalah bentuk dari usaha yang kurang. Memerintah negara tidaklah sesulit seperti membawa Gunung Tai dengan tangan dan meloncati Laut Utara. Itu semudah mematahkan ranting pohon.” Untuk jelasnya: Seperti kita memperhatikan keluarga kita yang sudah berumur, seperti itulah juga kita memperhatikan semua keluarga orang lain yang sudah berumur. Seperti kita perhatian kepada anak-anak kita, seperti itulah juga kita perhatian dengan anak-anak orang lain. Bila kamu dapat melakukan hal ini, kamu akan merangkul seluruh negara didalam tanganmu.”
Kisah ini mengilustrasikan bahwa menjadi jujur kepada orang lain dan diri sendiri, seseorang dapat menemukan kebijakan sejatinya. Saat diri penuh belas kasih dan toleransi, seseorang dapat melakukan hal yang besar.
Kisah ini sangat sederhana, namun maknanya yang mendalam tak lekang oleh waktu. (Erabaru/ch)
Orang-orang Tionghoa zaman dulu selalu menghargai guru-guru mereka. Itu adalah nilai tradisional yang terbentuk antara hubungan antara guru dan pelajar. Dalam mengajar anak didiknya, guru diharapkan untuk menanamkan ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan mengenai bagaimana untuk berperilaku di tengah masyarakat. Kewajibannya untuk mengajarkan kebijakan sepanjang hidup yang bernilai ini bagaikan pepatah, “Seorang guru dalam sehari harus dihargai bagaikan seorang ayah dalam satu masa kehidupan.” Masyarakat memperhatikan sikap mereka, mereka mempelajari prinsip kehidupan yang baik, bagaimana berperilaku harmonis dengan sesama manusia dan alam. Hal-hal inilah yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan pahala. Banyak hal-hal ini dipelajari dari para guru, oleh karenanya mereka sangat berterimakasih kepada kebaikan guru.
Dibawah ini adalah kisah antara guru dan murid dari Tiongkok kuno:
Yue Fei adalah seorang pahlawan dari Dinasti Song. Dia terlahir dari keluarga miskin, ayahnya meninggal saat dia masih kanak-kanak. Karena tidak punya uang, ia tidak bisa bersekolah, namun dia punya keinginan kuat untuk belajar, dan sering ikut belajar dari jendela kelas sekolah saat guru sedang memberi pelajaran. Karena dia tidak punya pinsil dan kertas untuk menulis, dia hanya menulis di tanah dengan ranting kayu. Guru Zhou Tong sering memperhatikannya diam-diam, dan menyadari bahwa anak ini serius mengikuti pelajaran, dan kemudian menawarkannya sekolah tanpa harus membayar uang sekolah. Sejak saat itu Yue Fei giat bersekolah. Yue Fei diajari bagaimana untuk menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat serta negara. Di buku tulisnya, dia selalu membaginya demikian: halaman kiri mengenai liteatur, di halaman kanan tentang keahlian berperang. Dia mempelajari teknik istimewa bagaimana untuk menjadi pemanah jitu. Karena ketekunannya belajar, dia menjadi master baik di ilmu liteatur dan keahlian berperang. Dia kemudian diangkat menjadi jendral pada Dinasti Song dan ditakuti musuh-musuh negara. Saat guru Zhou Tong wafat, Yue Fei mengadakan upacara duka untuknya dan menghormatinya bagaikan ayah. Sebelum ia wafat, setiap tanggal 1 dan 15 setiap bulannya, ia mengunjungi rumah mantan gurunya itu, baik Zhou Tong sedang di rumah atau sedang pergi, Yue Fei tetap datang ke sana untuk menghormatinya. Dia akan mengeluarkan busur yang diberikan Zhou Tong dan melepaskan tiga anak panah ke langit. Dia berkata, “Guru telah mengajarkan saya bagaimana untuk menjadi orang berguna, dan setia pada negara. Guru mengajarkan saya keahlian tempur dan pemanah jitu dengan busur dan anak panah. Saya tak dapat melupakan apa yang dia lakukan untuk saya.”
Masyarakat Tiongkok kuno punya pepatah, “Semua tokoh pendiri aliran Tao, Buddha dan Konfusius mempunyai guru. Semua kaisar terkenal juga mempunyai guru. Orang-orang yang tidak menghargai gurunya tidak akan mendapatkan apapun. Semua orang suci di sejarah menunjukkan penghormatan dan respek mereka terhadap guru-guru mereka, dan menjadi teladan bagi generasi penerus. (Erabaru/ch)
Orang Tionghoa berasal dari mana, siapakah leluhurnya, dari dongeng masa silam yang jauh, dari legenda tiga raja lima kaisar dan dari catatan kitab sejarah, kita mengetahui, orang Tionghoa adalah “anak cucu Yan dan Huang” (raja Yan dan kaisar Huang Di 炎黃子孫), kaisar Kuning yang pernah hidup di wilayah perairan sungai Kuning (Huang He) adalah leluhur suku bangsa Tionghoa. Namun jawaban ini, dewasa ini mengalami tantangan dari para ilmuwan, sehingga orang Tionghoa sendiri merasa kebingungan karenanya.
Pada era tahun 30an abad 20, ditemukan “manusia Peking” di Zhou Kou Dian-Beijing yang oleh para ilmuwan dianggap sebagai leluhur umat manusia, maka jadilah seluruh orang Tionghoa keturunan “manusia Peking” tersebut yang 5 sampai 600.000 tahun yang lampau turun dari pohon, berhasil mempelajari berjalan dengan badan tegak dan di saat kelaparan meng-kanibal daging dan otak serta sumsum sesama jenis manusia lainnya. Untungnya ditemukan lagi bahwa di dalam mata rantai fosil umat manusia zaman kuno Tiongkok, terdapat sebuah missing link yang besar, yakni salah satu masa tidak terdapat fosil manusia, jadi “manusia Peking” yang menghebohkan dunia sama sekali tidak memiliki keturunan yang berlangsung hingga sekarang, dengan orang Tionghoa tidak lagi bisa dikait-kaitkan.
Pada 1987, “Weekly News” –AS telah memuat sebuah berita sensasional, ilmuwan meneliti DNA memperoleh sebuah kesimpulan – “Hawa” leluhur umat manusia berada di Afrika dan dipublikasikan: “Kita semua memiliki seorang nenek Afrika yang pernah hidup pada 150.000 tahun yll, dan manusia zaman sekarang semuanya adalah keturunannya.” Pada cover majalah tersebut dimuat seseorang yang disebut “Hawa” yang berkulit hitam dan setengah telanjang sedang memberikan sebuah apel kepada Adam yang berkulit hitam pula. Keturunan “Nenek Afrika” tadi setelah keluar dari Afrika, lahirlah kita-kita ini.
Para pakar genetika Tiongkok selanjutnya mengatakan, para leluhur yang berasal dari Afrika, semenjak 40.000 tahun yang silam sesudah memasuki wilayah Tiongkok, jalan – berhenti – berkumpul – terpisah, demikianlah lambat laun dalam perjalanan waktu berubah menjadi berbagai suku bangsa Tionghoa. Dengan kata lain, orang Tionghoa berkulit kuning zaman sekarang, semuanya merupakan keturunan orang berkulit hitam Afrika yang telah bermetamorfosa, sewaktu mereka di dalam perjalanan nan panjang dari zaman primitif ke peradaban, para cucu-cicit tersebut telah berubah menjadi jenis manusia yang lain.
Dikatakan bahwa asal usul manusia adalah melalui evolusi dari makhluk primata (nenek moyang monyet) telah menimbulkan pro-kontra, orang Tiongkokpun sama saja sulit menerima “nenek Afrika” yang tak jelas juntrungannya. Sedangkan yang diketahui setiap keluarga dan telah diwariskan turun temurun, sesudah awal penciptaan dimana dunia masih berada dalam keadaan chaos, orang Tionghoa memiliki seorang ibu pertiwi: “Nu Wa 女媧”, yakni seorang dewi yang konon tinggal di gunung Kun Lun (di wilayah barat laut Tiongkok), Ia menggunakan tanah liat (kuning) untuk mencipta melalui membentuk bangsa kulit kuning yang paling dini di wilayah timur, memberikan kepadanya kulit kuning yang tak berubah selamanya dan menetapkan tata susila pernikahan serta memperpanjang jiwa umat manusia, ia adalah dewi leluhur suku bangsa Tionghoa.
Akan tetapi di balik “NuWa sang pencipta manusia”, sepertinya samar-samar masih dapat ditelusuri semacam jodoh hulu-nadi yang jauh lebih kuno. Tiongkok kenapa dinamakan “tanah dewata 神州”, “dinasti langit 天朝” dan kaisar Tiongkok disebut “putera langit 天子” , orang Tionghoa berbicara “bahasa paling awal taman Eden”, 5.000 tahun yang sambung menyambung, dari kaisar bertanya nasib kepada bintang hingga ke rakyat yang percaya Tuhan dan memuja leluhur, dimana-mana ada jejak dewata. Dibandingkan dengan manusia yang diciptakan dari tanah, asal usul orang Tionghoa sepertinya lebih kuno dan mulia. Namun, aliran sungai sejarah yang begitu panjang, sama halnya orang hanya dapat merindukan “Nu Wa” dari cerita dongeng saja, juga tentang hulu-sumber prasejarah asal-usul orang Tionghoa tersebut, hanya bisa mengandalkan imajinasi dan estimasi untuk menyentuh gambaran yang redup.
Dipikir lebih mendalam, semestinya bukanlah suatu kebetulan, dewasa ini, abad 21, pertunjukan “Shen Yun Divine Performing Arts” yang menggemparkan dunia, dengan musik, tarian dan nyanyian, busana dan layar, corak warna dan lighting yang demikian indah absolut, mempertontonkan kondisi surga dewata dan makhluk tinggi alam semesta, di dalam lingkup awan dan atmosfer yang menentramkan, kita dipersilakan menyaksikan dengan mata kepala sendiri asal usul peradaban Tionghoa, masa lampau dan masa depan orang Tionghoa serta dengan riel menyelami tema mendalam seperti “reinkarnasi”, “penyelamatan”, “welas asih”, “suci”.
”Maha pintu surga terbuka lebar pada suatu masa silam yang amat sangat jauh, ada berapa orang datang dan tinggal berapa orang berhasil balik. ”.
Orang Tionghoa berasal dari mana, umat manusia berasal dari mana, bakal kemana? Misteri maha sulit terungkapkan ini, setelah melalui menonton Shen Yun DPA, Anda akan memperoleh inspirasi dan jawabannya. (Epochtimes/Whs)
Menurut laporan berita BBC, Warisan Budaya dari Pemerintahan Negara Tiongkok dan Biro Pemerintah tentang Penelitian dan Pemetaan mencapai kesimpulan, setelah 2 tahun melakukan penelitian, bahwa Tembok Raksasa Tiongkok, kebanyakan dibangun selama dinasti Ming, mencapai panjang 8851,8Km (5.500 mil). Ini melampaui perkiraan sebelumya.
Dalam survei arkeologi terbaru dari Tembok Raksasa, dua bagian baru dari dinding tembok ditemukan di Beijing, juga lokasi bersejarah terkait dengan Tembok Raksasa di 498 lokasi.
Tembok Raksasa, salah satu bagian dari warisan budaya besar dunia, dibangun 1368 - 1644 sebelum Masehi, ujung timurnya berada di Hushan, Propinsi Liaoning dan ujung baratnya di Jiaguguan, Propinsi Gansu. Tembok ini melewati propinsi-propinsi Hebei, Tianjin, Beijing, Shanxi, Mongolia Dalam, Shaanxi, Ningxia, Gansu, dan Qinghai.
Ini termasuk tembok buatan manusia sepanjang 6.259 Km (3,889 miles), parit sepanjang 359 Km (223 miles), dan pembatas pertahanan alam sepanjang 2,232 Km (1,387 miles).
Sejak awal 2007, Warisan Budaya Pemerintahan Negara Tiongkok dan Biro Pemerintah tentang Penelitian dan Pemetaan telah menggunakan metode fotografi moderen dan teknologi penginderaan jarak jauh untuk menentukan dimensi Tembok Raksasa berdasarkan ukuran yang ada sekarang.
Tetapi, Warisan Budaya Pemerintahan Negara Tiongkok melaporkan bahwa pelestarian Tembok Raksasa dalam sebuah tahap sulit. Diluar hampir 2.000 Km bagian dari tembok sudah hancur akibat iklim yang berat, kurang dari 10% dilestarikan dengan baik. (Epohtimes/bdn)
Dahulu kala tersebutlah seseorang yang bernama Zhao Wangye bermarga Zhang, sebenarnya dia seorang yang bertingkah laku buruk dan selalu melakukan kejahatan, tapi, mengapa Maharaja Giok (dewa tertinggi dalam agama Tao) mengizinkannya menjadi Zhao Wangye atau Dewa Dapur? Sebab meskipun dia telah banyak berbuat jahat, namun, begitu terlintas dalam benak sebersit ketulusan, telah melakukan satu hal yang baik, karena itu Maharaja Giok memaafkannya.
Sebelum menjadi Zhao Wangye, dia adalah seorang yang pemalas, tidak bekerja dan gemar berjudi. Karena kegemarannya berjudi, ia dapat mempertaruhkan segala apa yang dimilikinya. Dia tidak memikirkan masa depannya. Hingga pada suatu ketika, dia bertaruh (judi) dengan seseorang, bukan saja menghabiskan seluruh harta keluarga, lebih buruknya lagi istrinya pun dipertaruhkan. Oleh karena itu istrinya kemudian menikah lagi dengan seorang pencari kayu bakar.
Karena kalah berjudi itu habislah sudah seluruh harta benda keluarga yang dia miliki tanpa sisa bahkan dia masih memiliki sejumlah utang pada beberapa orang. Sampai suatu kali dia tidak dapat membeli makanan. Dia lalu menemui mantan istrinya yang dijual itu. Beruntunglah ia karena mantan istrinya sangat pengasih, meskipun telah dijual, dia tetap memberikan beberapa buah bacang, bahkan secara diam-diam menyelipkan 10 tael (mata uang Tiongkok kuno) ke dalam bacang, dan memberitahu kepadanya: “Ambillah bacang ini, jangan kasih orang lain ya!” Begitu dia pergi, kebetulan seseorang datang menagih utang padanya, “Cepat bayar utangmu!”
“Saya tidak punya uang,” jawabnya.
“Apa, tidak punya uang? Lalu yang ditanganmu itu apa?”
“Makanan!”
“Makanan juga boleh!” Akhirnya bacang itu dirampasnya.
Setelah bacang itu dirampas, dia kembali menemui istrinya. Istrinya bertanya padanya, ”bacangnya mana?” “Dirampas orang!” Katanya. Tepat ketika pembicaraan sampai di situ, si suami yang seorang penebang kayu bakar itu pun pulang, Zhao Wangye kebingungan mencari tempat untuk sembunyi, lalu dia bergegas masuk ke dalam tungku. Si penebang kayu bakar ini kelelahan peluhnya membasahi tubuhnya sambil memikul setumpuk kayu bakar, dia hendak mandi sekembalinya memotong kayu bakar. Dan dia benar-benar baik terhadap istrinya dengan mengatakan, “Biarlah air panasnya saya yang siapkan.” Istrinya bergegas berkata, “O, jangan! Jangan! Biarlah saya nyalakan!“ Tapi, suami barunya ini bersikeras, lalu mengambil kayu bakar dan dinyalakan di dalam tungku.
Zhao Wangye bersembunyi di dalam dan memutuskan tidak keluar. Di benaknya dia berpikir, “jika saya keluar, sang istri pasti akan dipukul sama suaminya! Dia lebih baik mengorbankan diri, akhirnya dia tewas terbakar hidup-hidup.
Setelah tewas terbakar, setiap pagi, siang maupun malam mantan istrinya itu membakar dupa dan sembahyang di depan tungku. Melihat itu, suaminya bertanya, “Lho! Aneh! Kenapa setiap pagi, siang atau malam kamu selalu menyembahyangi tungku?” Tentu saja dia tidak boleh mengatakan kalau mantan suaminya itu mati terbakar di tungku tersebut, dan dengan sangat terpaksa dia berkata, “Kita manusia bisa hidup di dunia, harus bersyukur pada tungku dan kompor, sebab benda-benda ini memasak nasi untuk kita.” Kemudian belakangan orang-orang merasa kata-katanya memang benar, “Kita harus bersyukur pada tungku dan kompor. Seandainya tidak ada tungku dan kompor, kita tidak bisa hidup!” Lalu, tiap-tiap keluarga menyembahyangi tungku dan kompor di rumah mereka.
Setelah Maharaja Giok mengetahui hal ini, ia mengampuni semua kesalahan Zhao Wangye dan Maharaja Giok menobatkannya sebagai Zhao Wangye (Dewa Dapur), dan memberi perintah kepadanya bahwa setiap 24 Desember tahun Imlek naik ke istana langit untuk memberi laporan yang disebut “Kebaikan di langit, kedamaian di bumi. Demikianlah asal usul legenda tentang Zhao Wangye.(erabaru.or.id)*
Ada pepatah Tiongkok kuno yang berbunyi, “Orang yang Rendah Hati akan Mendapat Manfaat, yang Terbuai oleh Rasa Puas Diri akan Mendapatkan Kerugian”. Filsuf Tao terkenal Tiongkok, Lao Zi berkata, “Seseorang bisa mengambil keputusan yang bijak saat dia tidak menanggap dirinya serba pintar. Seseorang bisa dihormati atas jasa-jasanya saat dia tidak membesar-besarkan dirinya. Seseorang bisa mengukir prestasi besar apabila dia tidak sombong.
Seorang yang penuh toleransi pasti sarat dengan nasib baik. Seseorang yang tidak punya toleransi pasti minim dengan nasib baik. Menjadi seorang yang rendah hati atau sombong, menentukan takdir dan nasib seseorang. Orang yang rendah hati dengan karakter nan luhur, moralitasnya akan semakin menonjol. Oleh sebab itu, rendah hati adalah sebuah nilai moral positif yang harus dipertahankan setiap orang.
Pada zaman Chun-Qiu (770-476 SM) di Tiongkok kuno, Zi Lu, seorang pengikut Konfusius suatu hari pernah bertanya kepada Konfusius, “Mengapa seorang yang moralitasnya merosot cenderung menjadi sombong?” Konfusius berkata,: “Lihatlah sungai Yangtze, pada bagian hulu, yakni mata airnya pertama kali mengalir dari Gunung Wen, aliran sungainya tidak cukup kuat untuk mengapungkan sebuah cangkir. Namun sesampai di hilir, aliran sungai Yangtze begitu deras sehingga dapat mengapungkan banyak perahu diatasnya.” Zi Lu bertanya, “Apa maksudnya, Guru?” Konfusius menjelaskan, “Sungai Yangtze adalah sungai terpanjang di Tiongkok, tapi ia bukanlah apa-apa pada mulanya. Ia menjadi besar dan lebar sepanjang alirannya karena ia menerima banyak air dari anak sungai dan selokan yang berbeda-beda. Demikian pula yang terjadi pada kehidupan manusia.” Seseorang yang berhati-hati dalam perbuatannya tidak akan menonjolkan jasa-jasanya sebagai milik dia sendiri. Orang yang bertanggungjawab bersifat bijaksana dan murah hati. Ia selalu menghargai orang lain, punya sifat toleransi, memaafkan dan menepati janjinya. Sedangkan orang yang bermoral merosot tidak mengutamakan akhlak, ucapan dan perbuatannya tidak sesuai, inilah alasannya mengapa orang tersebut kelihatan sombong.”
Seorang raja bernama Da-Yu yang mendirikan Dinasti Xia, tidak pernah menyombongkan diri. Dia sering berkata, “Keunggulan setiap orang patut saya pelajari.” Saat orang lain menyampaikan nasihat, dia sering membungkuk hormat untuk menunjukkan terima kasihnya. Dia juga sangat terbuka untuk menerima masukan. Maka dia selalu dikenang atas keberhasilannya mengontrol banjir dan menjinakkan Huang He (Sungai Kuning).
Adipati Zhou juga adalah orang dengan talenta luar biasa, mempunyai kharisma dan keahlian, namun dia tidak arogan dan tidak berpikiran dangkal. Adipati Zhou menyikapi kaum cendikia dengan sopan santun dan rendah hati. Dia khawatir pemerintah akan kehilangan orang cendikia dalam proses perekrutan. Dia mengikuti mandat langit, menyusun tatacara Zhou dan menciptakan musik klasik Tiongkok kuno, Yayue.
Kaisar Taizong(599 - 649 M) dari Dinasti Tang mencapai kemuliaan dengan cara menerima berbagai kritik yang mungkin orang lain sulit menerimanya. Dia berusaha untuk tidak menggunakan kekuasaannya yang absolut itu. Dia sering berkata, “Pemimpin yang baik menjadi lebih bijaksana dengan belajar dari kekurangan dan kesalahannya, sebaliknya pemimpin yang irasional selamanya bodoh dengan menyembunyikan kekurangan dan kesalahannya.” Dia tidak hanya suka menerima nasehat, juga berani meminta nasehat. Inilah mengapa banyak duta besar negara sahabat berani mengungkapkan pendapat mereka dalam kepemimpinan kaisar Taizong di era Zhenguan, dan para menteri serta jajaran staffnya menjadi pejabat yang paling jujur dan bersih dari korupsi sepanjang sejarah Tiongkok kuno.
Pemimpin bijaksana dalam sejarah Tiongkok kuno selalu menghormati langit dan menjunjung akhlak, bersikap rendah hati, menghargai orang lain, mengendalikan diri sendiri, dan membimbing khalayak menuju kebaikan. Ini adalah contoh teladan kemoralan. Sebagai konsekuensinya, mereka diberkati oleh Tuhan. Pernahkan mereka menyombongkan dirinya? Bila raja-raja besar dan agung saja sangat rendah hati, mengapa kita tidak belajar dari mereka?
Shi Chong dan Wang Kai adalah dua orang berpengaruh pada zaman Dinasti Jin (265 - 420 M) yang bersaing satu sama lain membanggakan kekayaan mereka. Wang Kai membuat layar sutera ungu sepanjang 40 mil di jalan masuk rumahnya. Shi Chong menyainginya dengan membuat layar satin penuh warna sepanjang 50 mil. Kemudian, Wang Kai mempertontonkan harta berharganya yaitu sebuah kipas dari batu karang sepanjang satu kaki, hadiah mewah dari kaisar, pada perjamuan di rumahnya. Saat semua tamu sedang mengaguminya, Shi Chong menghancurkan benda tersebut dengan sebuah kapak, lalu dia memberikan Wang Kai batu karang sepanjang tiga kaki untuk menggantikan kerusakannya. Pada akhirnya, rumah Shi Chong dikepung oleh perampok. Shi Chong berkata dengan menghela nafas, “Kamu membunuh saya karena mengincar harta saya”. Sampai sebelum dibunuh, Shi Chong baru menyadari kesalahannya. Bila dia sadar lebih dini, dia tidak akan pamer kekayaan yang membuat orang lain iri dan tergiur. Sombong dan pamer dapat berakibat sangat fatal. Dengan menyimak kisah ini, bukankah kita dapat belajar untuk berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan kita? Lagipula, kekayaan dan keahlian diri sendiri bukanlah sesuatu yang dapat disombongkan. Bila seseorang menyombongkan kekayaan dan keahliannya, dia telah kehilangan moral dan bahkan lebih memalukan sebelum akhirnya bencana menghampirinya.
Sekali manusia menjadi congkak, dia akan terhalang dalam peningkatan moralitasnya. Terbuai dengan perasaan puas diri adalah halangan terbesar dalam peningkatan. Seseorang dapat memikul tanggungjawab yang penting hanya apabila dia gigih mencari kebenaran dan meningkatkan moralitasnya. Seseorang dapat mengajarkan orang lain menjadi baik dan menghancurkan elemen yang tidak baik hanya apabila dia bertoleransi pada yang lain. Ada pepatah Tiongkok kuno yang berkata, “Jangan berhutang. Siapa yang berhutang akan mendapat hutang, Siapa yang tidak bertempur tidak akan memiliki musuh.” (Erabaru/ch)
Qi Jiguang adalah pahlawan nasional yang terkenal di Tiongkok. Ia berkali-kali memimpin pasukan Dinasti Ming menggagalkan invasi bajak laut Jepang atas daerah pantai timur Tiongkok.
Pada masa kekuasaan pemerintah Dinasti Ming antara abad ke-14 sampai abad ke-16, bajak laut Jepang berbondong-bondong melakukan invasi ke Provinsi Shandong, Zhejiang dan Fujian di daerah pantai timur Tiongkok. Rakyat jelata setempat sudah kenyang menderita invasi dan sangat membenci kaum bajak laut Jepang yang diejeknya sebagai "Wokou," yang artinya "pembajak kerdil".
Pada akhir abad ke-16, kaum pembajak laut Jepang semakin ganas dalam melancarkan invasi ke daerah pesisir Tiongkok. Kaum bajak laut Jepang itu bertubuh kuat, licik dan melakukan perompakan dan pembunuhan secara brutal dan membabi buta. Pasukan Dinasti Ming nyaris terkesima menghadapi invasi kaum bajak laut yang kejam itu, yang telah membuat rakyat Tiongkok sangat menderita karenanya. Pada saat kaum bajak laut Jepang merajalela di daerah pantai Tiongkok Timur, Jenderal Qi Jiguang dikirim pemerintah ke garis depan untuk melawan invasi kaum bajak laut Jepang.
Qi Jiguang dilahirkan di Penglai, Provinsi Shandong, Tiongkok Timur pada tahun 1528. Nenek moyangnya semua adalah jenderal pasukan Dinasti Ming. Konon ketika Qi Jiguang masih kecil, ia suka melakukan permainan perang bersama dengan anak-anak sebayanya, dan menunjukkan bakat sebagai pemimpin. Ia sejak kecil berminat membaca buku, dan mahir teori militer. Pada usia 17 tahun, Qi Jiguang mewarisi jabatan ayahnya untuk menjabat sebagai komandan militer daerah. Setelah itu ia terus dinaikkan pangkatnya sampai dilantik oleh sang Kaisar sebagai panglima pasukan dalam melawan invasi kaum bajak laut Jepang.
Qi Jiguang menyimpulkan bahwa kekalahan pasukan Dinasti Ming ketika melawan invasi kaum bajak laut Jepang disebabkan karena lemahnya daya tempur pasukan. Oleh karena itu, ia mulai merekrut serdadu baru tanpa mengindahkan tentangan dari berbagai pihak. Kitab sejarah mencatat bahwa Qi Jiguang khusus merekrut lelaki yang suka berkelahi di kalangan rakyat dan melatih mereka secara intensif. Lama-kelamaan ia berhasil membina suatu pasukan yang kuat dan berdaya tempur tinggi. Qi Jiguang juga memerintahkan pembuatan kapal perang untuk mendirikan pasukan angkatan laut yang disebut sebagai "Pasukan Marga Qi." Sejak itu "Pasukan Marga Qi" mencapai kemenangan demi kemenangan dalam pertempuran melawan invasi kaum bajak Jepang. Namanya pun menjadi terkenal di mana-mana. Berikut adalah beberapa contoh.
Tahun 1561, kaum pembajak laut Jepang sebanyak 10.000 orang secara besar-besaran menginvasi daerah Taizhou, Provinsi Zhejiang. Pasukan Marga Qi segera beraksi untuk membasmi agresor. Kaum pembajak Jepang sengaja menaburkan uang dan barang rampokannya ke mana-mana, dengan maksud mengganggu Pasukan Marga Qi. Akan tetapi pasukan Qi yang terlatih tidak tertipu, malah menjadi semakin bergairah dalam pertempuran dan akhirnya membasmi semua pembajak laut Jepang yang menginvasi ke daerah itu.
Tahun 1562, Qi Jiguang berhasil membasmi sejumlah bajak laut Jepang yang sudah lama bercokol di sejumlah pulau di Fujian. Setelah itu, Qi Jiguang sengaja menyebarluaskan kabar bahwa pasukannya terlalu lelah dan perlu istirahat untuk sementara waktu. Kabar yang dibuat itu terdengar oleh gerombolan bajak laut Jepang yang berada di tempat lain. Mereka lantas memperlonggar keadaan siaganya. Namun di luar dugaan mereka, pasukan pimpinan Qi Jiguang malam itu melancarkan serangan mendadak terhadap gerombolan bajak laut itu. Setelah berjalan beriringan selama belasan kilometer, Pasukan Qi menduduki 60 lebih benteng pertahanan kaum bajak Jepang.
Pasukan Qi yang mencapai kemenangan besar dalam pertempuran itu dipuji penduduk setempat sebagai "pasukan sakti". Sampai sekarang di kalangan rakyat masih tersebar banyak cerita yang menyanjung keberanian Pasukan Qi.
Salah satu cerita mengatakan, kaum bajak laut Jepang berkali-kali dikalahkan Pasukan Qi, dan pada akhirnya diusir dari Tiongkok. Mereka bingung mengapa Pasukan Qi bisa melakukan perjalanan ke mana-mana dan terus mengejar mereka. Perjalanan panjang yang ditempuh dengan cepat dapat dilakukan karena Pasukan Qi tidak istirahat meskipun pada waktu makan. Setiap serdadu diberi makanan yang bisa digantung di lehernya untuk dimakan sambil berjalan. Sampai sekarang makanan bundar yang bisa digantung dileher itu masih dimasak oleh rakyat setempat. Ke mana pun Qi Jiguang dan pasukannya pergi, rakyat setempat mendirikan kuil atau kelenteng untuk memperingatinya.(Erabaru.or.id)
Kaisar Yu (Wenming) hidup di abad ke 21 Sebelum Masehi dan sangat terkenal sebagai salah satu kaisar berbudi luhur di sejarah Tiongkok. Ia mewarisi teladan “bekerja untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri” yang diturunkan oleh Kaisar sebelumnya, Yao dan Shun. Dia menghormati Tuhan dan mengajarkan prinsip moral. Hal inilah yang membuat rakyat berpikir bahwa ia diutus oleh Tuhan untuk menyelamatkan negara dari bahaya banjir besar. Banyak orang menyebutnya “Kaisar Yu yang Agung”.
Kisahnya adalah demikian, banjir besar selalu menjadi ancaman bencana di Negeri Tiongkok. Penduduk kehilangan rumah dan hidup dalam kesengsaraan. Raja waktu itu adalah Shun. Ia mendengar bahwa Yu adalah seorang anak muda yang cerdas dan tekun bekerja keras, maka ia mengangkat Yu untuk bekerja di bagian pengontrolan banjir. Yu segera mengumpulkan ahli-ahli untuk membantunya menjalankan tugas itu. Yu sangat randah hati dan selalu menerima nasihat orang lain. Dia menerima banyak saran dan memutuskan untuk membangun kanal-kanal untuk mengontrol air dari banjir.
Ia mendaki banyak gunung, menjelajahi banyak hutan dan menyeberangi banyak sungai untuk mensurvei jalan air ke laut. Didalam usahanya, Yu selalu minta petunjuk dari Tuhan dengan mengadakan upacara yang khusuk. Bahkan caranya melangkah dalam upacara tersebut kemudian ditiru orang-orang dalam setiap upacara, dinamakan sebagai “Langkah Ala Yu”. Yu dan pekerja-pekerja lainnya berusaha membangun sarana pengontrol banjir di penjuru negeri, bahkan para Dewa di langit sangat tersentuh atas kerja keras Yu. Dewa Sungai kuning kemudian memberi petunjuk diagaram sungai kepadanya. Saat mengerjakan sungai lain yang lebih besar, misalnya Sungai Panjang, muncullah Naga yang membantunya menunjukkan alur sungai dengan mengarahkan ekornya. Dewa langit juga membantunya dengan memberikan kontainer giok, kapak surga, pedang langit, dll. Dia dapat menggunakan kontainer giok itu untuk mengukur level air dan melacak kedalaman air di sungai dan laut, dia menggunakan kapak surga untuk membuka “Jalan Naga” di tempat sekitar Kota Luoyang (Provinsi Henan), sehingga air dapat mengalir lancar melaluinya, dia menggunakan pedang langit untuk membunuh naga iblis yang telah membelokkan arah air dan mengakibatkan banyak bencana. Pada akhirnya, Yu berhasil melaksanakan tugasnya, membuat banjir dapat terkendali penuh.
Dalam usahanya selama 13 tahun tersebut, dia pergi ke berbagai tempat di Tiongkok. Ada sebuah kisah terkenal mengenai perjalanannya. Meskipun dia melewati rumahnya selama 3 kali dalam 13 tahun tersebut, ia tidak pulang ke rumah. Dia mengeruk terusan 9 sungai, memanfaatkan 9 danau besar, menggali 9 gunung. Dia menghentikan bencana banjir di China sehingga penduduk dapat hidup tenang di rumahnya, membantu rakyat mengembangkan pertanian agraris dan menanam banyak jenis tanaman pangan. Mereka mempelajari bagaiman cara menanam padi di lahan basah dan rendah. Yu juga mengajar penduduk mengenai sistim irigasi yang baik. Sejak saat itu, dari timur ke laut, barat ke gurun, utara ke selatan, di atas tanah yang sangat luas, negeri Tiongkok menjadi tempat yang kaya, makmur dan ternama. Untuk mengenang Yu atas jasa-jasanya, Kaisar Shun menganugerahkan penghargaan giok kerajaan dalam sebuah upacara agung.
Bejana “9 Ding” yang dibuat Yu untuk menghargai 9 bagian besar yang menyatu membentuk satu kesatuan China.(Gambar)
Setelah Yu menyelesaikan tugasnya mengontrol banjir, dia mengabdi membantu Kaisar Shun dalam memerintah negara. Dia sangat setia dan bertanggungjawab. Dia berkata pada Shun, “Mengikuti prinsip yang baik yang telah diajarkan langit akan membawa kita kepada hidup yang lebih baik, mengikuti kejahatan akan menjatuhkan kita ke dalam bencana, bagaikan sebuah bayangan mengikuti bendanya, atau sebuah gema dari suatu suara. Oleh karenanya, setiap saat dan setiap waktu kita harus mengutamakan moral sebagai prioritas utama didalam kehidupan. Apabila pejabat-pejabat kita memiliki moral yang tinggi, rakyat dengan sendirinya akan mendukungnya. Bila kita mengikuti perintah Tuhan dengan pikiran yang tenang dan jernih, langit akan menganugerahkan kehidupan yang damai dan sejahtera.” Kaisar Shun sangat terharu dan sangat bahagia karena memiliki Yu yang bijaksana dan sering memberikan masukan dan nasihat yang baik. Dia memerintahkan rakyatnya untuk belajar mengenai moral kepada Yu. Pada tahun ke-33 masa pemerintahannya, ia menunjuk Yu menggantikannya dan mengangkat Yu untuk menjadi Kaisar di Tiongkok.
Setelah Yu menjadi kaisar, ia bekerja lebih keras untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Dia mengeluarkan banyak kebijakan pemerintahan yang baik dan bermanfaat bagi rakyat, menekankan pada pengajaran moral, merekrut orang-orang bijaksana yang berperilaku lurus untuk menjadi pejabat tinggi, dan dengan rendah hati menerima banyak saran dari masyarakat serta melaksanakannya demi memajukan negara. Saat Kaisar Yu melakukan perjalanan ke selatan, dia bertemu ribuan pengikut dari negara lain dalam sebuah “Pertemuan Gunung Tu”. Untuk mengenang pertemuan besar ini, Yu membuat 9 bejana besar (disebut Ding) dari tembaga, merepresentasikan 9 negara bagian di bagian tenggara Tiongkok. Mereka terkenal sebagai “9 rumpun”. Yu pergi ke berbagai tempat untuk mengenalkan dan memajukan kebudayaan dan moralitas bangsa Tionghoa. Dalam perjalanannya, ia mempelajari juga banyak hal mengenai tradisi lokal, bertukar ilmu mengembangkan pertanian, mengajarkan mereka mengenai masa bercocok tanam yang baik, memberikan mereka benih. Dia mengajarkan prinsip-prinsip moral dan mengajar rakyat untuk mematuhi hukum dan hidup damai satu sama lain. Yu sangat dihormati dan diterima baik oleh masyarakat setempat. Dia juga mengembangkan kebudayaan dan menjadikan “Musik Shao” sebagai musik tradisional untuk menghormati para Dewa, dan mengembangkan musik “Xia Besar” untuk menyebarkan kebaikan.
Budaya dan semangat yang diturunkan Yu sangatlah berharga dan mendalam. Tidak hanya memberi contoh bagaimana manusia menghargai dan menjalankan perintah Tuhan, juga mengandung prinsip-prinsip politik dalam memerintah negara, bagaimana mengutamakan moral, kejujuran, mengutamakan rakyat, menjalankan prinsip “alam dan manusia hidup harmonis”, dan “memperhatikan moral daripada uang dan kepentingan” dan “tidak egois dan mementingkan orang lain daripada diri sendiri”. Semua prinsip-prinsip lurus bijaksana ini menghasilkan hal-hal yang baik bagi kemajuan peradaban Tiongkok, kemakmuran negara dan terhindarnya bencana. Kebudayaan tradisional Tionghoa selalu didasarkan pada kepercayaan pada Tuhan dan menjunjung tinggi moralitas, oleh karenanya prinsip menghargai Sang Pencipta, menjalankan ajarannya, menyayangi satu sama lain antar manusia selalu dilaksanakan. Namun, sejak paham komunis dari negeri asing masuk ke Tiongkok pada tahun 40-an dan dengan kekerasan mengambil alih pemerintahan China sampai sekarang, banyak kebudayaan tradisional Tionghoa telah dirusak, terutama di masa revolusi besar kebudayaan, nilai-nilai luhur kepercayaan asli bangsa Tionghoa dan moralitas telah diberangus, digantikan dengan apa yang disebut “kebudayaan partai komunis”, menghancurkan hubungan harmonis antara Tuhan dan manusia, bumi dan langit, manusia dengan manusia, manusia dengan alam.
Ini adalah “9 Ding” yang dibuat Yu untuk menghargai 9 bagian besar yang menyatu membentuk satu kesatuan China.
PENOPANG SISTEM KEKEBALAN TUBUH
Aloe Vera adalah tanaman yang telah memiliki reputasi tinggi sebagai
“tanaman medis” yang berkhasiat untuk membantu pen...
*1. Wanita Bijaksana*
Tahu kapan untuk genit tau kapan untuk dimanja seperti anak kecil. Jika dia
adalah seorang mahasiswa, ia tidak akan egois meminta ...
Microhydrin:
Abundantly Available Antioxidant
Microhydrin offers abundantly available antioxidant power. The key is the
freely available electrons that que...
Anybody appreciates the customizable utility of Nissan Townpod's van-like
abilities coupled with a chic and stylish cockpit designed with the future
and ...
Peringkat pertama : wanita *Pisces*
Wanita pisces pandai memahami maksud dan pendapata orang lain, bisa membuat
suami melewati hidup dengan sangat santai....
Leluhur bangsa Tionghoa percaya bahwa “Tao” menghasilkan segalanya dan
memberikan segalanya dengan pahala (De). Mereka menghargai Tao, menjunjung
moral ...
Making Money From Home Just Got Easier!
Presenting...The IAHBE!
What Is It? IAHBE stands for the International Association of Home Business
Entrepreneurs....
*Ini Jagoan LG untuk Lawan Note 4 & iPhone 6 Plus* - Tahun ini, LG rupanya
tidak hanya menyiapkan G4 sebagai amunisi untuk menggempur dominasi Samsung
da...
Sabba Dhammam Dana Dhammam Jinati
Persembahan Dhamma Merupakan
Persembahan Yang Tertinggi
Banyak bicara banyak kesalahan dan berbahaya;
diam dan sed...
A home sale can be risky sometimes for sellers and also there is no
guarantee that the house will sell. Still, some *Bloom Realty, Erin E King
MBA* helps...